Senin, 16 Mei 2011



Ibnu Hajar Al- Asqolani
Dan Methode Takhrij Hadistnya[1]
Oleh : Nur Masitha Sari[2]


  1. Prolog
Hadist, sebagai pedoman kedua setelah Al-Qur’an, tak ayal memberikan kontribusi yang cukup besar bagi umat Islam. Tidak hanya sebagai penuntun ibadah atau terbatas dalam lingkup spiritual saja, lebih dari itu ia mempunyai peran untuk kelangsungan hidup manusia dalam menjalani kehidupan sebagai hamba yang bertakwa.

Sudah menjadi kebutuhan bagi para muslim untuk menelaah hadist lebih jauh, salah satunya menelusuri lebih jauh tokoh-tokoh yang pakar di dalamnya. Maka dalam pembahasan kali ini, penulis berusaha memaparkan napak tilas Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani –sosok  yang disebut sebagai sang Amirul Mukminin fi-l- hadist di zamannya- beserta karateristik takhrij hadist juga mengupas sekilas tentang buku fenomenalnya” Fathul Bari”

  1. Biografi Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani
Bernama lengkap Ahmad Ali bin Muhammad bin Ali bin Mahmud  bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqolani. Sering dipanggil Syihabuddin ataupun Abul-Fadhol, dan lebih populer dengan nama Ibnu hajar. Lahir di Mesir tepat pada tanggal 22 Sya’ban 773 H. Seorang yang sangat pakar dalam bidang hadist, juga fiqh, tafsir serta sejarah ini meninggal di tempat yang sama pada tahun 852 H.

Hidup di seperempat terakhir abad 8 sampai pertengahan 9 H, zaman yang bisa disebut era keemasan di Mesir dalam bidang keilmuwan di bawah khilafah Mamlukiyah. Setidaknya faktor kondisi sosial itulah yang melatar belakangi Ibnu Hajar mencintai ilmu dan khazanah islami selain bekal yang sudah diberikan oleh ayahnya sendiri yang juga ulama dalam bidang fiqh, bahasa Arab, Qira’ah dan sastra.

Anak yatim yang dirawat oleh kakak perempuannya sendiri ini telah menghafal Al-Qur’an di usianya ke-9, lalu setelah menginjak umurnya yang ke-12 beliau sudah memimpin sholat tarawih di Makkah, di usia yang ke-19 ia mulai mempelajari seni sastra dan pada tahun 796 tepat di usianya yang 23 tahun ia berguru kepada Zainuddin Al-Iraqy untuk menela’ah bidang Fannu al Hadist / seni hadist.

Dengan kewara’an, kezuhudan dan berbagai akhlak mulianya, beliau mempunyai posisi terhormat di kalangan para ulama. Beliau pun pernah mengecap sebagai Hakim Negara di Mesir, sebuah jabatan yang sempat beliau sesali dalam hidupnya. Tak hanya itu, beliau juga menjadi khotib/ penceramah di masjid –masjid besar  seperti Masjid Azhar, Amru bin Ash, kesempatan yang sangat langka didapatkan di masanya, serta mengajar beberapa disiplin ilmu di berbagai madrasah, di antaranya seperti mengajar hadist di Madrasah Jamaliah Jadidah, fiqh di Madrasah Syaikhuniah dan Madrasah Shalahiyah al-Mujawiroh.

Serupa dengan ulama-ulama sebelumnya, ulama yang bermadzhabkan Syafi’i ini merantau ke berbagai tempat untuk menimba ilmu. Makkah, Qous, Alexandria, Giza, Yaman, Hijaz, Yanba’. Mina, Madinah, Syam, Damaskus tak luput dari ekspedisi keilmuwan beliau. Nampaknya bekal dari ayahnya yang seorang ulama akan beberapa disiplin ilmu beserta guru-gurunya yang besar dan sangat ahli dibidangnya seperti At-Tanukhi, Al-Iraqy, Al-haitsimi, Al-Fairuz dan sebagainya sangat mempengaruhi ketinggian intelektualitasnya. Maka tak heran Ibnu Hajarpun menelurkan bibit-bibit yang cerdas juga seperti As-Sakhowi, Burhanudin Al-Baqoi dan Zakaria Al-Anshori.

Ulama yang terbilang produktif ini telah mentransformasikan berbagai disiplin ilmu yang beliau kuasai dalam bentuk karya tulis. Karya tulisnya mencapai sekitar 270 buku berbicara tentang berbagai disiplin ilmu, tetapi memang lebih di dominasi oleh hadist. Beberapa di antaranya yang terpenting seperti Fathul Bari, Bulughul Maram, Taqrib at-Tahdzib, Lisanul Mizan, Al-Kaf As-Syaf, dll.

* Fathul Bari, bentuk kontribusi nyata terhadap Shahih Imam Bukhari.

Ibnu Hajar telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kitab fenomenal “ Shahih Bukhari”. Tercatat beliau mempunyai buku-buku yang berbicara khusus tentang buku yang dijadikan pedoman kedua setelah al-Qur’an ini sekitar 17 buku, seperti : Hadiyus-Sari, Tsalatsiyat al-Bukhari, Taghliqut- Ta’liq,dsb. Dan buku-buku yang menyangkut tentang Shahih bukhari sekitar 6 buku.

Dalam proses pembuatannya, mengingat jarak hidup beliau dengan Bukhari sudah jauh sekitar 579 tahun, maka beliau mencari dan berguru kepada ulama-ulama yang mendapatkan ijazah / izin langsung dari Bukhari untuk meriwayatkannya. Tidak hanya dari satu jalan atau sanad yang ia dapat, melainkan banyak dan semua berujung kepada Bukhari. Salah satu sanad yang ia dapat yakni berasal dari Abu Ali Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdul Aziz ke Abdullah bin Muhammad bin Asad al Juhny ke Abi Ali Said bin Ustman bin Said As-Sakan ke Al-Farbury ke Imam Bukhari.[3]

Pada awalnya, penulisan Fathul Bari dilakukan secara imla atau dikte lalu beliau menulisnya sendiri, beliau tidak akan menulisnya kecuali telah dimusyawarahkan bersama dengan imam-imam yang terpecaya pada waktu itu. Semua substansinya sudah direvisi bersama dengan ulama-ulama tersebut dan selesai tepat di hari pertama Rajab tahun 842 H. kecuali beberapa tambahan yang beliau sengaja tambahkan didalamnya  berakhir di hari-hari dekat ajal menjemputnya.

Dalam Fathul Bari-nya, Ibnu Hajar menjawab masalah-masalah tentang keabsahan hadist-hadist Shahih Bukhari dalam segi sanad dan rijalul-hadist (perawi yang ada di dalamnya), memaparkan methode Bukhari dari segi sanad(riwayat), Muallaqot (hadist Muallaq), pendapat fiqhnya serta bahasa. Menjelaskan alasan keberadaan hadist mursal dalam Shahih Bukhari.

Tidak hanya itu, dengan keahliannya dalam bidang sastra dan bahasa, maka bahasa yang  beliau gunakanpun mengandung uslub badi’(unsur yang indah), dalam setiap penjelasan terkadang beliau menggunakan syair-syair yang bertepatan dengan penjelasan tersebut,. Tanpa kefanatikan, beliau berusaha menyanggah berbagai keraguan tentang keabsahan hadist shohih milik Bukhari sebagaimana beliau teguh menolak hadist hadit dhaif tanpa dalil, serta berusaha menjelaskan perdebatan /khilafiyah ulama fiqh dan memaparkan manakah yang kuat nilainya. Dalam Muqoddimah beliau menulis, jikalau aku diam, maka hadist itu tak lebih kurang derajatnya dari hasan, karena beliau selalu menghukumi setiap hadist atas derajat keabsahannya.

Dari kesemua itu terlihatlah penguasaan beliau yang dalam atas Buku Bukhari tersebut secara Riwayat maupun Dirayat

B.     Sekilas tentang Takhrij Hadist

Takhrij hadist merupakan salah satu bentuk ilmu hadist yang penting, yaitu berupa penjelasan kondisi hadist (shahih dhaifnya) dan penisbatan hadist yang ditukil ke buku-buku hadist yang sampai isnadnya (yakni pengarang juga termasuk perawinya).

Jadi, bisa ditangkap dari sini bahwa penisbatan / penyandaran dalam takhrij hadist hanya bisa diambil dari buku-buku seperti Ashabus-sittah, Musnad Imam bin Hanbal, Muwattha’ Imam Malik, yang mana sang empunya termasuk perawi didalamnya. Sedangkan bila kita mengambil hadist dari buku-buku karangan ulama yang beliau tidak termasuk perawi didalamnya semisal Imam Nawawi, Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir maka kita tidak bisa menyandarkan periwayatan hadist yang kita ambil kepada mereka.

Ilmu ini memiliki 5 asas yang pokok dan terpenting yaitu:[4]
1.      Penyebutan pengarang buku yang ditukil hadistnya
2.      Penyebutan nama-nama perawi dalam hadist tersebut
3.      Pengumpulan dan pendeteksian Syahid dan Mutabi’ dalam hadist tersebut
4.      Pengumpulan macam-macam lafadz matan hadist dalam berbagai periwayatan
5.      Klarifikasi derajat hadist tersebut

Methode takhrij hadist pun bermacam-macam, ada yang memakai methode berdasarkan Sahabat –yakni menyusun hadist sesuai sahabat yang meriwayatkannya,  lafadz pertama yang ada di matan  hadist tersebut,  lafadz yang tampak dan mendominasi hadist tersebut, dan berdasarkan tema-tema atau bab-bab fiqhiyah.

Contoh takhrij hadist[5] :

أخرجه الطبرانى , و البيهقى في الدلائل , و الشعب , و ابن أبى حاتم , و الطبري , و ابن مردوية , كلهم من طريق على بن يزيد , عن القاسم بن عبد الرحمن , عن أبي أمامة .
و هذا اسناد ضعيف جدا. فقال السهيلى , عن ابن اسحاق : ثعلبة بن حاطب قمر البدريين . و عن أبي اسحاق أيضا : في المنافقين , و ذكر هذه الآية التي نزلت فيه (فعلمها اثنان) 10 هـ الكشاف و بذيله الكا ف الشاف 292/

C.    Methode Pengulangan Takhrij Hadist  Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani

Untuk mengetahui karateristik ataupun methode takhrij hadist yang digunakan Imam Ibnu Hajar kita cukup melihat kepada buku-buku  beliau  yang mayoritasnya adalah ringkasan (sampai-sampai ulama –ulama setelahnya mengomentari bahwa meringkas sudah menjadi hobi beliau, dan beliau mempunyai seni tersendiri dalam hal itu).

Dalam bukunya “ Mathalib Aliyah” beliau memakai methode tematik atau menyusun hadist sesuai kitab-kitab fiqhiyah yang berhubungan dekat dengan tema hadist tersebut kemudian langsung dimasukkan kedalam bab-bab fiqh yang ada.

Apabila di dalam bukunya “Dirayah Nashbu Ar-Rayah” yang merupakan ringkasan dari kitab” Nashbu Ar-Rayah” milik  Jamaludin, Abdullah bin Yusuf Az-Zaila’i, beliau menggunakan methode takhrij yang sama dengan yang asli yakni sesuai bab fiqhiyah. Meskipun buku ini merupakan ringkasan, tapi tak semua yang ada di dalamnya sama dengan yang asli. Bila ditelaah, kita akan temukan seringkali Ibnu Hajar menempatkan suatu hadist di bab yang tidak sama dengan aslinya  dan terkadang ia menambahkan bab baru yang sebelumnya tidak ada, beliau juga menjelaskan  beberapa illah/ cacat hadist secara terperinci dan beberapa derajat hadist yang belum dijelaskan. Sepertinya itulah yang membuat ringkasan beliau dinilai mempunyai seni tersendiri tak hanya sekedar ringkasan belaka.

 Sebagai contoh, dalam buku Nashbu Ar-Rayah terdapat فصل في نواقض الوضوء  maka beliau meniadakan bab itu di bukunya, akan tetapi memasukkannya dalam فصل في الترتيب و الموالاة في الوضوء و التيمم  . [6]

Sedangkan dalam  buku “Habir Syarhul Wajiz al-Kabir” -yang merupakan ringkasan dari al-Wajiz milik Imam Ghozali dan Syarh al-kabir  milik Ar-Rafi’i- tidak terlalu  berbeda dengan aslinya. Beliau menyusunnya dengan tidak mengubah –ngubah babnya dan sesuai dengan tematik fiqhiyah juga.

Misalnya, jika di Syarh al-Kabir termaktub باب الماء الطاهر  dalam كتاب الطهارة, maka dalam buku Al-Habir beliau menulis باب الماء الطاهر  dalam كتاب الطهارة, sama tanpa meniadakan satu unsur apapun, tanpa adanya pengubahan. Karateristiknya bertolak belakang dengan kitab Dirayah Nashbu Rayah[7] .

Begitujuga dengan Bulugul Maram yang beliau tulis dari 36 kitab hadist meliputi Musnad Syafi’I, Muwatha  Imam Malik,dsb beliau susun sesuai bab –bab fiqhiyahnya dan menyebutkan sanad cukup dari sahabat saja beserta derajat hadist tersebut, kalaupun beliau diam (tidak menghukumi), pasti hadist tersebut sudah di ketahui derajatnya oleh para khalayak (sudah masyhur derajatnya.

Imam Zamakhsyari dalam  tafsirnya Al-Kasyaf, akan kita temukan bahwa beliau hanya menyebutkan matan hadist di bukunya, maka datanglah Imam Jamaluddin Abu Muhammad Az-Zila’I mentakhrijkan hadist yang terdapat dalam tafsir beliau. Kemudian disusul Ibnu Hajar meringkas buku Az-Zila’I, maka terbitlah buku Al-Kaf  As-Syaf, yang mana dalam bukunya itu beliau berusaha meringkas dan menambah takhrij hadist lain dari sumber yang berbeda. Akan tetapi, Ibnu Hajar hanya mentakhrij hadist –hadist yang diungkapkan oleh Zamakhsyari saja bukan seluruh isi Al-Qur’an.

Dari yang kesemua ini bisa kita ambil bahwa methode yang dipakai Ibnu Hajar Al-Asqolani yakni methode tematik sesuai bab-bab fiqhiyah yang ada.
.
D.    Epilog

Dari semua itu, bisa kita ketahui bahwa seorang Ibnu Hajar  dengan karateristik takhrij hadist yang berdasarkan tematik fiqhiyah dan usaha ekspedisi beliau untuk ilmu,juga  Fathul Bari sebagai karya fonumenal dan khazanah umat islam telah berjasa dalam membangun semangat keilmuwan khususnya dalam bidang hadist di masanya, maka tak berlebihan jika manusia di zamannya menjulukinya sebagai sang pioner ilmu hadist, Amirul Mukminin fil Hadist.



Daftar Pustaka


  1. Asqolani, Imam Ibnu Hajar, “ Al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah” , Dar el Ma’rifa, Beirut.
  2. Asqolani, Imam Ibnu Hajar, “Fathul Bari” juz 1, Dar el Ma’rifa, Beirut
  3. Asqolani, Imam Ibnu Hajar, “Nuzhatun-Nadhor fi Taudhihi Nukhbatul-Fikr”, Mathbaus-Shibah, Damaskus, 2000
  4. Asqolani, Imam Ibnu Hajar, “Taqribut-Tahdzib”, Dar el Minhaj, Madinah, 2009
  5. Hamidah, Dr. Ridho Zakaria Muhammad Abdullah,”Miftahul-Mubtadi’in fi Tahrij Hadist Khotimun-Nabiyin”, Kairo
  6. Sattar, Syaikh “ Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani” Dar-el Qolam, Damaskus
  7. Zaqzuq, Muhammad Hamdi” Mausu’ah A’lamul-Fikr Al-Islami”, Kairo, 2007


[1]  Makalah ini disampaikan dalam Kajian Reguler Salsabila Study Club pada selasa, 17 Agustus 2010 
[2]  Penulis adalah mahasiswi baru fakultas Dirasat al-Islamiyah wa al-Arabiyah, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
[3]  Ibnu Hajar Al-Asqolani, “ Fathul Bari” jilid 1, Dar el Ma’rifa, hal 5
[4] Ridho Zakaria Muhammad Abdullah Hamidah,” Mifatahul Mubatadi’in fi Takhrij Hadist khotimun-Nabiyin “, hal 8
[5] Ibid, hal 368
[6] Ibid , hal 342
[7] Ibid , hal 332

Tidak ada komentar:

Posting Komentar