Kamis, 19 Mei 2011

Ibnu Katsir

                                                                                                             
“Metodologi interpretasi al-Qur’an abad pertengahan”[1]
Oleh: Sheila Ardiana[2]


Prolog

            Umat Islam perlu mempunyai pemahaman yang otentik terhadap agama. Al-Qur’an sebagai petunjuk dan sumber hukum utama syariat agama Islam yang diturunkan dalam bahasa Arab perlu dipahami dan dihayati ayat-ayatnya agar pemahaman kita terhadap agama tidak melenceng dari syariat yang telah ditentukan, karena al-Quran pada hakikatnya menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman. Karena itu, kita harus memahami kitab Allah ini secara menyeluruh dan bukan pehamahaman yang setengah-setengah saja yang akan mengakibatkan konklusi pengambilan dalil yang salah.

Pemahaman terhadap al-Qur’an kemudian diaplikasikan dengan pengamalan dalam kehidupan umat manusia. Kesungguhan mengamalkan al-Qur’an harus dilandasi ilmu tentang al-Qur’an. Disinilah pentingnya kita perlu mempelajari Tafsir al-Qur’an. Kebutuhan al-Qur’an terhadap Tafsir bukanlah kebutuhan pokok, tapi kebutuhan al-Qur’an terhadap Tafsir adalah kebutuhan yang insidental. Hal ini dapat dilihat dari aspek turunnya al-Qur’an yang tidak terjadi dalam satu waktu, tetapi ayat-ayat al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur disesuaikan dengan situasi dan kondisi umat muslim ketika itu. Pengetahuan tentang hal ini, biasa dikenal dengan asbabunnuzul. Dan yang dimaksud disini bukanlah sebab-sebab kenapa ayat-ayat al-Qur’an tersebut diturunkan, tetapi sebab-sebab penurunan ayat-ayat al-Qur’an tersebut hanya sebagai sebab munasabah bukan sebab hakikiah. [3] Dengan kata lain, ayat al-Qur’an yang turun ketika itu, disesuaikan dengan konteks yang ada. Karena apabila sebab turunnya ayat tersebut hanya sebagai penjawab pertanyaan umat mulim di masa itu, maka esensi al-Qur’an sebagai mu’jizat di sepanjang zaman akan hilang dengan menghilangnya penyebab, al ‘Ibrah bi umumi al-lafdzi la bi khususi as-sabab.[4]

            Karena al-Quran berbicara tentang berbagai aspek kehidupan serta mengemukakan beraneka ragam masalah, yang merupakan pokok-pokok bahasan berbagai disiplin ilmu, maka kandungannya tidak dapat dipahami secara baik dan benar tanpa mengetahui hasil-hasil penelitian dan studi pada bidang-bidang yang dipaparkan oleh al-Qur`an. Upaya menemukan makna di balik ayat-ayat al-Qur’an membutuhkan penafsiran al-Qur’an yang komprehensif. Allah memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan sesuai dengan konteks kehidupan suatu umat manusia di zamannya.

Metodologi Interpretasi Al-Qur’an di Abad Pertengahan

            Dalam peta sejarah Islam, abad pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan. Periode ini dimulai dari akhir masa kepemerintahan  daulat Umayyah atau awal daulat Abbasiyah. Dimana berbagai macam disiplin ilmu muncul dan berkembang di masa ini. Perhatian pemerintah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan berbagai macam diskursus keilmuan.

            Corak penafsiran al-Qur’an di masa klasik identik dengan penafsiran dengan periwayatan. Sedangkan penafsiran di abad pertengahan ini, yaitu masa pembukuan Tafsir, dimana pembukuan Tafsir pada awalnya hanya merupakan bentuk perkembangan dari pembukuan Hadist, sebab Tafsir pada mulanya merupakan cabang dari Hadist yang diriwayatkan dari Nabi mengenai hal-hal yang terkait dengan penafsiran al-Qur’an. Kemudian tidak lama setelah itu, pembukuan Tafsir merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri yang terlepas dari bagian penulisan Hadist.[5]

            Tidak berhenti sampai disitu, penafsiran al-Qur’an dilakukan dengan cara peringkasan sanad-sanad, mengambil perkataan ulama salaf terdahulu tanpa menyebutkan perawinya sehingga penyebabkan penafsiran yang didasarkan pada riwayat yang tidak bisa dipastikan sahih tidaknya subtansi Hadist ataupun perkataan ulama salaf tersebut.

            Selanjutnya, penafsiran al-Qur’an mengalami suatu fase panjang dalam sejarahnya. Dimana penafsiran al-Qur’an didasarkan pada nalar akal. Corak penafsiran dimasa ini juga cenderung menonjolkan “kepentingan” di luar kepentingannya sebagai penafsiran atas teks al-Qur’an. Sehingga penafsiran al-Qur’an sarat akan kepentingan ideologi  mufassir. Hal ini terpengaruhi dengan keadaan sosio-historis umat muslim di kala itu. Diantaranya, otoritas pemerintah yang menggaungkan suatu madzab tertentu dalam kepemerintahannya dan menyebabkan adanya penafsiran al-Qur’an yang disesuaikan untuk kepentingan pribadi.

            Sebagaimana kita temukan diantara mufassir klasik ada yang menggunakan metode Tafsir bil al-ma’tsur, begitupula dengan mufassir kontemporer. Dan sebagaimana kita dapatkan diantara mufassir klasik ada yang menafsirkan al-Qur’an untuk kepentingan ideologi tertentu, begitupula dengan mufassir kontemporer. Para mufassir memang mempunyai aspek pandang yang berbeda dalam penafsiran al-Qur’an. Kebanyakan mengarahkan pada satu aspek pandang tertentu dari segala macam aspek yang bermacam-macam dalam penafsiran al-Qur’an. [6] Begitu pula yang terjadi pada masa pembukuan tafsir ini. Dimana ada beberapa mufassir yang menggunakan metode Tafsir bil al-ma’tsur dan ada pula yang menggunakan metode Tafsir bi al-Ra’yi.

Biografi Singkat

Munculnya berbagai model dan metode penafsiran al-Qur’an merupakan suatu bentuk upaya membuka pesan teks Ilahi yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an. Salah satu mufassir terkemuka adalah Imam Ibnu Katsir. Beliau terkenal sebagai seorang mufassir  yang menggunakan metode Tafsir bil al-Ma’tsur dalam interpretasi ayat-ayat al-Qur’an.

Imam besar dengan nama lengkap Imam al-hafidz Imaduddin Abu Fida’ Ismail bin  Umar bin Katsir bin Dau’ bin Katsir bin Zar’i al-Bisri al-Damasyki lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H di desa Mijdal, Busra, sebelah timur Damaskus. Ayahnya, Syihabuddin Abu Hafsah Umar bin Katsir, seorang khatib di desanya yang meninggal ketika Ibnu Katsir berusia 3 tahun.  Setelah wafatnya sang ayah, Ibnu Katsir diasuh oleh kakaknya Abdul Wahab yang mendidik dan mengayominya Abdul Wahab menyekolahkan adiknya di Damaskus di usianya yang ke lima tahun.

Dari Damaskus itulah, Ibnu Katsir memulai pengembaraannya untuk menuntut ilmu ke berbagai kota yang ditinggali kaum Muslimin khususnya imam-imam besar yang ada di dalamnya. Meski pada masa itu kaum Muslimin sedang mengalami tragedi besar dengan adanya pembantaian yang dilakukan kaum Tatar. Dimana banyak kaum muslimin yang dibunuh, buku-buku sebagai sumber ilmu dibakar dan banyak pusat peradaban Islam yang dimusnahkan. Dan dimasa itu pula perang Salib berlangsung dengan sangat mengenaskan. Akan tetapi, meski di tengah kecamuk peperangan dan perebutan kekuasaan, pada masa itu pula dicatat sebagai masa gerakan  ilmu pengetahuan, dengan adanya sekolahan-sekolahan yang banyak didirikan, penulisan buku-buku dan penerjemahannya yang sudah dimulai sejak abad ke 6 M.[7]

Di Damaskus, beliau belajar fiqh syafii dari Syaikh Burhanuddin Ibrahim bin Abdurrahman al-fazzari yang terkenal dengan nama ibnu al-Farkah. Kemudian meneruskan perjalanan beliau  sampai bertemu dengan Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al Mizzi pengarang buku “Tahdzibu tahdzib” dan “Atraf al-kutub as-sittah” kemudian menikah dengan putrinya. Ibnu Katsir juga mempelajari ilmu sejarah dari Syaikh Syamsuddin ad-Dzahabi Muhammad bin Ahmad. Tahun 1366, diangkatlah Ibnu Katsir menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Bugha di Masjid Ummayah Damaskus. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibnu Katsir. Diantaranya adalah Ibnu Taimiyyah yang kemudian menjadi gurunya besarnya dan banyak mewarnai sikap dan cara berfikir Ibnu Katsir.

Sementara murid-murid beliaupun tidak sedikit, diantaranya Syihabuddin bin Haji. Pengakuan yang jujur lahir dari muridnya, “Ibnu Katsir adalah ulama yang mengetahui matan hadits, jarh dan rijalnya serta mengetahui yang shahih dan dha’if”. Guru-guru maupun sahabat beliau mengetahui, bahwa beliau bukan saja ulama yang handal dalam bidang Tafsir, beliau juga ulama Hadits dan sejarah. Sejarawan sekaliber al-Dzahabi, tidak ketinggalan memberikan sanjungan kepada Ibnu Katsir, “Ibnu Katsir adalah seorang mufti, muhaddits, juga ulama yang faqih dan kapabel dalam Tafsir”.[8] 

Ibnu Katsir wafat pada hari Kamis bulan Sya’ban 774 H dalam usia 73 tahun dan dimakamkan di pemakaman salafiyah di Damaskus disamping makam guru yang amat dihormatinya, Ibnu Taimiyyah.
Metodologi Penafsiran Ibnu Katsir

Ditengah maraknya penafsiran al-Qur’an dengan berbagai macam tujuan dan corak khasnya masing-masing, serta munculnya unsur-unsur israiliyyat yang merasuki penafsiran al-Qur’an. Ibnu Katsir muncul di abad pertengahan ini dengan menawarkan sebuah interpretasi al-Qur’an yang menggunakan  metode Tafsir bil al-ma’tsur yang terlepas dari unsur-unsur yang melemahkan metode penafsiran al-Qur’an bil al-ma’tsur. Hal ini didasarkan pada riwayat yang dibawakan oleh para mufassir yang terdahulu (salaf), melalui metode penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, Hadits, perkataan sahabat, lengkap dengan informasi kedudukan periwayatannya(jarh wa ta’dil). [9]



Dalam muqaddimah kitabnya, Ibnu Katsir menuliskan banyak hal yang berkaitan dengan al-Qur’an, Tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an. Mayoritas isi pendahuluannya tersebut merupakan perkataan yang sering ditulis atau diucapkan oleh gurunya, yaitu Ibnu Taimiyyah. Di mana disebutkan bahwa Ibnu Katsir adalah salah seorang mufassir yang sangat mengagumi pemikiran dan kepribadian Ibnu Taimiyyah.

 Jika kita mulai membaca kitab Tafsir Ibnu Katsir, akan kita dapatkan metode yang Ibnu Katsir terapkan adalah metode sangat khas, yaitu pertama beliau mengutip suatu ayat dari al-Qur’an, lalu mulai menafsirkannya dengan bahasa yang mudah dipahami, singkat dan jelas. Sekirannya beliau dapatkan dalam suatu ayat terdapat Tafsirannya dalam ayat yang lain, maka langsung beliau tuliskan sebelum beralih kepada derajat penafsiran yang selanjutnya, dan membandingkan antara kedua ayat sampai jelas makna dan maksud ayat yang ditafsirkan. Dengan demikian, Tafsir Ibnu Katsir ini merupakan satu model Tafsir yang dikenal dengan pendekatan Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an.

Kemudian setelah selesai dari menafsirkan satu ayat melalui ayat yang lain, beliau melanjutkan dengan tingkat penafsiran tahap ke dua, yaitu melalui Hadits Nabi yang memberikan penjelasan tentang ayat al-Qur’an yang dimaksud, dengan memberikan keterangan atasnya apa-apa yang dapat dikategorikan sebagai dalil yang diterima ataupun yang ditolak, melalui penelitian kesahihan dan tidaknya suatu Hadits, sisi rawi, sanad dan lain-lainnya. Di sini tampak jelas kehebatan Ibnu Katsir selain sebagai seorang mufassir juga sebagai pakar Hadits yang memahami benar seluk beluk Hadits dari berbagai aspeknya sehingga beliau sangat selektif dalam mengambil Hadist Nabi yang menguatkan Tafsir al-Qur’an.

Setelah ditetapkannya suatu Hadist yang kuat dalam mendukung suatu Tafsir ayat al-Qur’an tertentu, barulah beliau kuatkan lagi dengan adanya pendapat-pendapat  sahabat, tabi’in, lalu tabi’uttabi’in dan ulama-ulama salaf lainnya, tentang makna Tafsir yang sesuai dengan isi teks Hadits tersebut. Dalam tahapan ini pun, Ibnu Katsir sering melakukan suatu langkah tarjih atas berbagai pendapat yang tengah beliau sampaikan dan membandingkannya dengan penglihatan dari berbagai aspek.  Maka bisa kita temukan dalam kitabnya itu, beliau menghukumi lemah (dhaif) suatu riwayat berdasarkan pengetahuannya tentang standar kebenaran suatu riwayat yang ada dalam ilmu Hadist dan keadaan rijal Hadist. [10]


Sekalipun harus kita sadari bahwa Ibnu Katsir pun sering mengutip beberapa pendapat para mufassir lainnya seperti Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Tafsir Ibnu Atiyyah. Namun yang paling menonjol dari Tafsirnya adalah, bahwa Ibnu Katsir sangat berhati-hati dari masuknya unsur-unsur israiliyyat dalam Tafsir al-Qur’annya ini. Menyikapi hal ini, terkadang beliau memberikan suatu pernyataan penolakannya secara tegas, namun pada sisi yang lain, sekalipun tidak beliau gunakan sebagai pegangan penafsirannya, beliau lebih terlihat lentur dan tidak memberikan justifikasi sesat terhadap unsur israiliyyat  ini.

 Contohnya saja, ketika beliau menafsirkan ayat ke 67 dalam surat al-Baqarah, yang menceritakan tentang suatu perintah Allah kepada Nabi Musa untuk menyebelih sapi, kita temukan Ibnu Katsir menceritakan suatu kisah yang panjang tentang proses pencarian Sapi yang nantinya bakal disembelih oleh Bani Israil itu. Yang konon sapi itu adalah milik seorang pemuda yang terkenal berbakti kepada bapaknya dari bani Israil, dan seterusnya. Ibnu Katsir menafsirkan bahwa kisah ini pun diceritakan pula oleh para ulama salaf.  Pada akhirnya, Ibnu Katsir memberikan komentar bahwa redaksi cerita ini berasal dari Ubaidah, Abi al-Aliyah dan Sidiy, tetapi informasi masih diperselisihkan, yang lebih pasti kisah ini adalah semata hanya israiliyaat, maka yang semacam ini boleh saja kita kutip tetapi tidak bisa kita jadikan sebagai pegangan, “la nushadiq wa laa nukadzib” sebab kita tidak bisa seratus persen yakin kecuali atas apa yang telah jelas-jelas benar, wallahu’alam”.

Selain dari itu, Tafsir  Ibnu Katsir dilengkapi dengan adanya pembahasan-pembahasan fikih yang menyangkut ayat-ayat ahkam.[11] Contohnya saja, dapat kita lihat ketika beliau sampai pada ayat 230 surat al-Baqarah, yaitu tentang permasalah bolehnya seorang suami menikahi istrinya yang sudah ia talak bain (tiga), yang harus ada orang asing yang menikahi istrinya itu lalu diceraikan, sekiranya ia (suami pertama) ingin kembali lagi kepadanya. Ibnu Katsir menyebutkan syarat-syarat yang ada dalam fikih yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang pertama, berikut pandangan para ulama dan dalil-dalil yang menguatkannya.

Namun, dengan model penafsirannya yang juga menyinggung tentang permasalah fikih, Ibnu Katsir tidak memaparkannya secara panjang hingga sampai berpuluh-puluh lembar. Suatu model yang membedakannya dengan mufassir fuqaha seperti Imam Jashah dalam Ahkaamu al-Qur’an, Ibnu ‘Arabi pada Ahkam al-Qur’an, atau Imam Qurthubi dalam al-Jaami’ li Ahkaami al-Qur’an, yang justru ketika sampai pada ayat-ayat hukum, seakan seluruh energi Tafsirnya dikerahkan untuk mengupas tuntas dari A sampai Z permasalahan tersebut.

Yang jelas, Tafsir Ibnu Katsir adalah suatu interpretasi Tafsir bil-ma’tsur  yang hebat dan memuaskan. Paling tidak demikianlah apa yang pernah dikomentari oleh para ulama tentang Tafsir beliau ini. Imam Suyuthi pernah berkata tentang Tafsir Ibnu Katsir ini: “sesungguhnya belum ada orang yang pernah menulis Tafsir dengan metode seperti ini“.[12]

Hasil Karya Karangan Ibnu Katsir

Ibnu Katsir, imam besar yang menguasai berbagai macam ilmu, khususnya dalam ilmu Tafsir, Hadist dan sejarah, adalah seorang ahlu fatwa yang mempunyai ingatan yang kuat dan pemahaman yang bagus. Berbagai macam karangan beliau , diantaranya:
  1. Tafsir al-Qur`an al-Azdhim. Suatu bentuk interpretasi al-Qur’an dengan metode Tafsir bil- al-ma’tsur.
2.      Al-Bidayah wa al-Nihayah. Buku ini membahas tentang sejarah. Buku ini sering dijadikan rujukan para peneliti sejarah. Berisi tentang  peristiwa pembentukan alam semesta berserta isinya dan kisah Nabi-Nabi beserta umatnya di masa lalu. Kisah ini dikuatkan dengan dalil-dalil yang kuat, baik itu dari al-Qur`an maupun al-Sunnah, juga pendapat-pendapat para mufassir, muhadits dan sejarawan. Beliau juga menguraikan secara jelas mengenai keadaan bangsa Arab di zaman jahiliyah, kemudian bangsa Arab ketika kedatangan Nabi Saw dan perjalanan dakwah Nabi Saw beserta para sahabatnya. Kemudian pemaparan tentang keadaan umat setelah zaman Rasulullah, huru hara dan kekacauan yang terjadi hingga kebangkitan umat Islam. Buku ini di akhiri dengan kisah Dajjal, beliau juga nengungkapkan mengenai tanda-tanda kiamat lainnya. Tercatat, kitab al-Bidayah wa al-Nihayah merupakan sumber primer terutama untuk sejarah Dinasti Mamluk di Mesir. Dan karenanya, kitab ini seringkali dijadikan bahan rujukan dalam penulisan sejarah Islam[13].
  1. Al-Takmil fi marifati al-tsiqat wa al-dhuafa` wa al majahil. Buku ini adalah rujukan dalam ilmu Hadist serta untuk mengetahui jarh dan ta’dil. Karya ini adalah karya gabungan dua imam yaitu syeikh Mizzi dan syeikh Dzahabi yaitu kitab Tahdzibu al-kamal fi asma`i al-rijal dan Mizan al i’tidal fi naqdi al-rijal dengan tambahan dalam jarh dan ta’dil.
  2. Al-Hadyu wa al-Sunan fi AHadist al-Masanid wa al-Sunan atau yang mashur dengan istilah  Jami’ al-Masanid. Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menggabungkan kitab musnad imam Ahmad, al-Bajjar, Abi Ya’la, Ibn Abi Syaybah, bersama kitab yang enam, shohihaini dan sunan al-arba’ah . Kemudian beliau menyusunnya dalam bab per bab.
  3. Thabaqat al-Syafi’iyyah.
  4. Takhrij al-Hadist adillatu al-Tanbih fi fiqh al-Syaafi’i.
  5. Takhrij al-Hadist muktashar ibn al-Hajib al-Asli.
  6. Syarh Bukhari (tidak selesai).
  7. Kitab al-ahkam (tidak selesai hanya sampai bab haji saja).
  8. Ikhtishar kitab li ibn al-shalah fi ‘ulumi al-Hadist.
  9. Al-Musnad al-Syaikhain (musnad Abu Bakar dan Umar).
  10. Al-Sirah al-Nabawiyah
  11. Al-fusul fi ikhtishari sirah al-rasul.
  12. Kitab al-muqodimat fi mukhtashari Ibnu Sholah.
  13. Muktashar kitab al-madkhal lil Bayhaqi (ikhtishar ulumi Hadist).
  14. Risalah fi al-jihad.
  15. Al-AHadist al-tauhid wa al-rad ‘ala al-syirk.
  16. Syamail al-rasul wa dalailu nubuwwatihi wa fadlailihi wa khasha`isihi (di ambil dari kitab al-Bidayah wa al-Nihayah).

Epilog

Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang universal kehidupan dan masalah spritualitas, tetapi juga menjadi sumber ilmu pengetahuan manusia yang unik di sepanjang kehidupan umat manusia. Masing-masing periode tentunya mempunyai kebutuhan masing-masing terhadap al-Qur’an di setiap zamannya yang tentunya merupakan jawaban terhadap tantangan zamannya. Dari sinilah, al-Qur’an menjadi sesuatu yang menarik, karena ayat-ayat yang universal dan global memungkinkan setiap individu untuk menyusun suatu metodologi interpretasi al-Qur’an guna menangkap makna yang disampaikan al-Qur’an. Maka, interpretasi al-Qur’an merupakan suatu upaya untuk memposisikan al-Qur’an berada dalam konteks dimana al-Qur’an itu diturunkan di masa Rasulullah dan memposisikannya sebagai pedoman hidup manusia dalam konteks kehidupan manusia di setiap masanya.[14]  Sehingga, al-Qur’an sebagai mu’jizat di sepanjang zaman akan tetap terjaga dalam  subtansi utuhnya. Inna nahnu nazzalna dzikro wa inna lahu lahafidzun.

Pemahaman terhadap suatu teks al-Qur’an berbeda-beda sesuai dengan kemampuan para mufassir itu. Setiap metode mufassir tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menguak makna dan pesan dasar yang disampaikan al-Qur’an. Teks al-Qur’an memang tidak akan berubah sampai kapanpun, pemahaman terhadap teks itulah yang berubah-ubah sesuai dengan konteks zamannya. Begitupula pemahaman mufassir pada al-Qur’an akan berbeda-beda, bisa jadi pemahaman seorang mufassir adalah pemahaman yang literalistik dan pemahaman mufassir yang lain sudah terkontaminasi dengan madzab yang dianutnya ataupun ideologi-ideologi yang dia anut. Dalil yang benar belum tentu cara beristidlalnya (penarikan kesimpulan) benar. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap setiap penafsiran merupakan suatu keniscayaan dilakukan, karena setiap mufassir bukanlah makhluk super yang tidak memiliki kelemahan, tetapi mereka juga manusia biasa yang tidak bebas dari kelemahan. 


Daftar Pustaka

1. Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, , Dar Attaufiqiyyah li al-turost, , tahun 2009,
Kairo, jilid 1
2. Katsir, Ibnu, Al-Bidayah wa Al-Nihayah,  Maktabah Shofa, cetakan ke-1, tahun 2003, Kairo,  Jilid 1
3. Husein Adz-Dzahabi, Dr. Muhammad, At-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah  Wahbah, cetakan ke-8, tahun 2003, Kairo
4. Ali al-Shobuni, Muhammad, Muktashor Tafsir Ibnu Katsir, Dar as-Shobuni, Kairo
5. Abid al-Jabiry , Dr. Muhammad, Madkhol Ila al-Qur’an al-Karim, Markas Dirasah al-Wahdah Al- Arabiyah, cetakan ke-2, tahun 2007, Beirut, Libanon
6. ‘Asyuro, Ibnu, al-Fadhil,  Muhammad , Syaikh, al-Tafsir wa rijaluhu, Maktabah Darussalam, Kairo
7. Mun’im An-Namr, Dr. Abdul, Ilmu Tafsir, Dar al-Kutub al-Misriyah, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Dar al-Kutub al- Lubnan, cetakan 1, tahun 1985, Kairo





[1]  Makalah ini dipresentasikan dalam kajian Salsabila Study Club (SSC) pada hari Kamis, 18 April 2010
[2]  Calon Mahasiswi Fakultas Dirasah Al-Islamiyah wa al-Arabiyah Universitas Al-Azhar Kairo
[3]  Syaikh Muhammad al-Fadhil Ibnu ‘Asyuro, al-Tafsir wa rijaluhu, Maktabah Darussalam, Kairo, hal 21
[4]  Dr. Abdul Mun’im An-Namr, Ilmu Tafsir, Dar al-Kutub al-Misriyah, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Dar al-Kutub al-                                         Lubnan, cetakan 1, tahun 1985, Kairo, hal 22
[5]  Ibid, hal 105
[6]  Ibid, hal 111
[7]  Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, , Dar Attaufiqiyyah li al-turost, , tahun 2009, Kairo, jilid 1, hal  5
[8]  Dr.Muhammad Husein Adz-Dzahabi,  At-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Wahbah, cetakan ke-8, tahun 2003, Kairo, hal 174
[9]  Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Maktabah Shofa, cetakan ke-1, tahun 2003, Kairo,  Jilid 1, hal 10
[10]  At-Tafsir wa al-Mufassirun, Op.Cit, hal 175
[11]   Ibid, hal 176
[12] Ibnu Katsir, Muktashor Tafsir Ibnu Katsir, ikhtishor wa al-tahkik Muhammad Ali al-Shobuni, Dar Shobuni, Kairo
[13]  Bidayah Nihayah, Op.Cit, hal 11
[14]  Dr. Muhammad Abid Al-Jabiri, Madkhol Ila al-Qur’an al-Karim, Markas Dirasah al- Wahdah Al- Arabiyah, cetakan ke-2, tahun 2007, Beirut, Libanon,  hal 28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar