Minggu, 15 Mei 2011



Penyusupan Riwayat Yahudi-Masehi dalam Tafsir Al-Qur’an
          (Telaah Singkat Sosio-Historis, Pengaruh dan Hukumnya)[1]
Oleh: Riezka Purwitasari[2]

A. Pendahuluan

Riwayat Yahudi-Masehi atau yang lebih dikenal dengan kata “Israiliyyat” ,  konon adalah kata jamak yang berasal dari kata mufrad “israiliyyah” yang dinisbatkan kepada bani israil. Memuat cerita atau kisah-kisah yang diriwayatkan dari sumber bani israil. Secara silsilah mereka adalah keturunan nabi Ya'kub As. Sementara Israil adalah gelar bagi Nabi Ya'kub As yang berarti Abdullah (hamba Allah). Jadi bani Israil adalah keturunan Israil yaitu Nabi Ya'kub As. Selaras dengan firman Allah SWT “Likullin ja’alnaa minkum syir’atan wa minhaajan” maka jelas, bahwa Allah SWT telah menurunkan syari’at yang menjadi dasar hukum tiap-tiap umat. Bahkan bersamaan dengan syari’at , Allah SWT juga menurunkan Al-kitab  sebagai pedoman bagi makhluk-Nya.

Pada tatarannya, syari’at samawi tak terbatas pada Yahudi, Kristen, dan Islam saja. Namun Allah telah menurunkan syari’at-Nya melalui para rasul-nya. Senada dengan hal itu, al-kitab serta shuhuf terdahulu telah lebur dimakan zaman, tak tersisa dalam penglihatan umat terakhir kecuali Taurat dan injil. Sayangnya, dua kitab samawi tersebut telah hilang keotentikannya. Taurat dan injil tak lagi membawa pesan illahi “Hudaa wa nuur” dan malah menjadi alat pemuas kepentingan para rahib dan petinggi gereja pada abad ke-3 Masehi seperti yang terjadi pada konsili Nicea[3].

Jika ditelisik, penggubahan Taurat dan Injil oleh kalangan petinggi agama sedikit banyak dipengaruhi oleh fobia-historis atas kekecewaan bani israil pada doktrin gereja di zaman pertengahan (the medieval ages). Dimana hegemoni gereja atas kehidupan umat Kristen khususnya dunia barat sangat otoriter. Pada saat itu Gereja merupakan institusi resmi wakil Tuhan yang dominan dan tak terbatas. Sehingga kerap kali gereja melakukan tindakan brutal yang tidak manusiawi. Mereka menyebut zaman ini sebagai “zaman kegelapan” (the dark ages). 

Berbeda dengan Al-qur’an sebagai kitab terakhir. Yang merupakan “al-furqan” dan “al-muhaimin” bagi kitab-kitab sebelumnya. Maka Allah telah menjamin keotentikannya tanpa kontaminasi perubahan zaman dan tempat,  mu’jiz dengan sendirinya, serta kekal hingga hari kiamat. Seperti firman Allah, “Inna nahnu nazalna al dzikra wa inna lahuu lakhafidzun” [4]
Lalu, jika Al-qur’an terjaga keotentikannya, lantas mengapa masih banyak kita temukan mufasir muslim yang menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dengan riwayat ahli kitab? Bukankah jelas disebutkan, bahwa taurat dan injil sendiri telah mengalami perubahan? Apa latar belakang yang mendasari hal tersebut? Bagaimana riwayat-riwayat bathilah itu menyusup kedalam tafsir Al-Qur’an? Sejauh mana pengaruh riwayat ahli kitab dalam penafsiran al-Qur’an?. Oleh karena itu, dalam makalah singkat dan sederhana ini, penulis mencoba memaparkan jawaban-jawaban yang sangat sederhana atas seabreg pertanyaan yang manggelayuti benak diskusan.

B.      Latar Belakang Penyusupan Israiliyat Kedalam Kitab Tafsir

Masuknya riwayat Masehi dan Yahudi (israiliyyat) kedalam Tafsir Qur'an telah ada sejak    zaman Sahabat. Ini terkait oleh asimilasi tsaqafah bani Israil yang bermigrasi ke semenanjung Arabia di masa pra-Islam pada tahun 70-M untuk menghindari kekejaman dan penindasan pemerintahan Romawi pada waktu itu[5]. Tak pelak, bani Israil yang hijrah ke semenanjung Arab membawa serta Tafsir dan landasan agama mereka yang kemudian berkembang di kalangan mereka dari generasi ke generasi. Tafsir dan landasan agama Yahudi memiliki posisi kuat dalam tradisi bani Israil dimanapun mereka berada. Dimana mereka memiliki sebuah sistem pendidikan agama terpadu yang mereka ajarkan di sekolah-sekolah agama, yang dikenal dengan sebutan “El-Midras”.  Disamping itu, mereka juga membangun tempat-tempat peribadatan (sinagoga) yang terintegrasi dengan sekolah-sekolah keagamaan.

                Konon, Arab Jahiliyyah gemar melakukan perjalanan (rihlah) ke suatu tempat dengan waktu yang cukup lama. Bagi kaum Quraisy sendiri, mereka memiliki dua musim rihlah: musim dingin ke Negara Yaman dan musim panas ke Negara Syam. Yang mayoritas penduduknya adalah Ahli kitab dari Yahudi. Tak ayal, hal ini merupakan salah satu faktor timbulnya asimilasi tsaqafah atas pengaruh interaksi yang cukup intens antara Yahudi dan Quraisy.

                Ketika ajaran Islam dan kitabullah lahir dan tersebar di kalangan penduduk semenanjung Arab, Rasulullah SAW membangun pusat Negara Islam di Madinah dan mendirikan masjid-masjid sebagai majlis ilmu dan tempat peribadatan yang berdekatan dengan pemukiman kaum Yahudi dari bani Qunaiqa’, bani Quraidzah, dan bani Nadir seperti di Khaibar, Taima’ dan Fadak. Tentunya, hal ini juga menjadi faktor penyebab pertukaran ilmu dan pengetahuan diantara Yahudi dan kaum Muslimin. Sebab lain juga tampak pada berbagai diskusi dan perdebatan yang terjadi antara Yahudi dan kaum Muslimin yang menimbulkan berbagai pertanyaan dan penafsiran seputar agama. Namun, faktor paling urgen yang melatarbelakangi penyusupan Israiliyyat adalah fenomena keislaman ahli kitab seperti Abdullah bin Salam, Abdullah bin Shuria, Ka’ab al ahbar, Wahab bin Munabah dan selainnya. Tak jarang, mereka menjadi rujukan para Sahabat seputar kisah-kisah yang tidak disebutkan secara detail dalam Al-Qur’an namun diceritakan secara detail dalam Taurat. Seperti kisah seputar nama-nama Ashabul kahfi, warna anjing dan jumlah Ashabul kahfi, jenis kayu dari tongkat Nabi Musa As, dan lain sebagainya. Meski begitu, para sahabat tidak langsung mempercayai begitu saja cerita-cerita yang terdapat dalam Taurat dan menyangkal cerita yang tidak sesuai syara’ serta akal.

C.      Pengaruh Israiliyyat dalam Penafsiran Al-Qur’an

                Pada tataran realnya, riwayat Israiliyyat seringkali menyebabkan kekeliruan dalam memahami nash Qur’an dan hadist serta mencemari kemurnian ajaran Islam. Pada umumnya, kisah-kisah tersebut banyak dibumbuhi dongeng, cerita fiktif, khurafat, dan sejenisnya yang jelas-jelas bertentangan dengan akal dan syara’. Misalnya:

1.       Dalam riwayat Israiliyyat banyak kita temukan unsur-unsur penafian terhadap sifat ma’sum para nabi dan rasul. Bahkan cenderung menggambarkan para nabi dan rasul dengan imaji kekejian dan aib yang tidak layak dinisbatkan kepada hamba yang dimuliakan Allah SWT. Seperti yang terdapat dalam kisah bahwa Nabi Muhammad SAW menyembunyikan kecintaan dan keinginan untuk menikahi Zainab binti Jahsy istri Zaid bin Haritsah, kisah bahwa Nabi Nuh As minum anggur sampai mabuk dan telanjang, kisah bahwa Nabi Luth As berzina dengan dua orang putri kandungnya, kisah bahwa Nabi Daud As menzinahi istri panglimanya-Aurya, kisah bahwa Nabi Sulaiman As menyembah berhala dan membangun kuil-kuil pemujaan untuk menyenangkan istri-istrinya, dan beberapa kisah-kisah lainnya.

2.       Riwayat Israiliyyat berpotensi menyimpangkan kepercayaan umat Islam terhadap sebagian sahabat dan tabi’in serta ulama-ulama salaf. Hal ini diakibatkan oleh penisbatan riwayat kepada salafu sahih, seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abdullah bin Salam, Ka’ab al Ahbar, dan Wahab bin Munabah.

3.       Riwayat Israiliyyat berimplikasi memalingkan kaum Muslim dari Al-qur’an dan mengaburkan pemahaman terhadap nash Al-qur’an dan hadist, melalaikan umat terhadap pengambilan pesan dan ikhtibar serta hukum-hukum yang terkandung didalam Al-qur’an.

4.       Pengikisan akidah terhadap sifat-sifat kesempurnaan Allah dan kepercayaan Umat Islam terhadap keotentikan Al-qur’an dan hadist serta menggambarkan agama Islam sebagai agama khurafat. Seperti cerita bahwa Nabi Daud As bersujud kepada Allah sambil menangis selama empat puluh malam hingga tumbuh rumput dari air matanya. Kemudian mengeluarkan nafas panjang yang membuat rumput itu berkobar.

Uraian diatas merupakan sebagian pengaruh dan implikasi riwayat Israiliyyat yang menyusup kedalam tafsir Al-Qur’an. Oleh karena itu, umat Islam perlu mencermati dan memparhatikan terlebih dahulu sebelum menyerap riwayat-riwayat Israiliyyat yang banyak terdapat dalam kitab tafsir.

D.    Hukum Periwayatan Israiliyyat
                Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi riwayat Israiliyyat, sebagian dari mereka membolehkan dan sebagian lagi melarang periwayatan Israiliyyat. Dimana setiap hukum memiliki dalil-dalil tersendiri.
Dari dua pendapat diatas, dapat diambil titik tengah dan penselarasan. Diantaranya:

1.       Pada kenyataannya, agama Islam adalah agama yang mengedepankan pengetahuan secara inklusif. Dan tidak membatasi ruang lingkup pengetahuan dalam arti sempit. Jika kita amati, terdapat banyak ayat Al-qur’an yang menganjurkan umat Islam untuk menengok ulang kepada ulama Yahudi dan Nasrani. Sekedar untuk bertanya tentang perihal kejadian yang datang dari kitab mereka, yang kemudian diingkari dan disangkal setelah datangnya Islam. Hal ini tak lain utuk menyampaikan kebenaran Islam agar mereka mendapat petunjuk. “Fain kunta fi syakkin min maa anzalnaa ilaika fa is’al alladziina yaqrauuna alkitaab min qablika…” [6]

2.       Al-Qur’an banyak mengisahkan cerita-cerita tentang bani Israil dan umat-umat sebelumnya, diantaranyan kisah perintah Allah kepada bani Israil untuk menyembelih Qurban yang berbunyi, “wa idz qaala musa li qaumihi inna llaha ya’murukum an tadzbahuu baqarah…” [7]

3.       Semua yang berkaitan dengan perintah Allah SWT kepada umat Islam terkait petanyaan kepada ahli kitab, merupakan dalil yang membolehkan untuk meriwayatkan kisah-kisah yang bersumber dari bani Israil, namun dalam hal yang belum diubah oleh mereka.

4.       Periwayatan Israiliyyat oleh sebagian para Sahabat seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Abdullah bin amru bin Ash tidak bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan Bukhari yang melarang umat Islam untuk bertanya kepada Ahli kitab. Karena pada hakikatnya, para sahabat Rasulullah adalah golongan yang paling ‘alim dengan persoalan agama dan mereka memiliki manhaj yang kuat dan pertimbangan yang detail terhadap israiliyyat yang datang kepada mereka. 

Oleh karena itu, secara umum riwayat Israiliyyat dapat digolongkan menjadi tiga jenis:

1.       Riwayat Israiliyyat yang sesuai dengan syari’at Islam dan nash Al-qur’an dan hadist. Tak ada keraguan dalam riwayat Israiliyyat jenis ini, sudah pasti benar dan dapat diterima. Serta wajib diyakini kebenarannya. Seperti sifat-sifat Rasulullah SAW yang terdapat dalam Taurat.

2.       Israiliyyat yang bertentangan dengan nash Al-qur’an dan hadist serta akal sehat. Riwayat Israiliyyat jenis ini tidak didukung oleh kesesuaian dengan riwayat hadist Rasulullah SAW. Riwayat jenis ini sangat diragukan kebenarannya, haram diriwayatkan dan harus ditolak. Seperti kisah bahwa Nabi Harun As adalah orang yang membuat patung sapi untuk bani Israil dan menyuruhnya untuk menyembah patung tersebut.

3.       Riwayat Israiliyyat yang tidak didukung oleh nash Al-qur’an dan hadist namun tidak bertentangan dengan akal sehat dan logika Islami. Riwayat Israiliyyat jenis ini tidak didukung oleh nash namun ada kemungkinan mengandung kebenaran dan dapat diterima oleh akal sehat. Riwayat jenis ini tidak haram juga tidak wajib untuk diyakini kebenarannya. Seperti warna anjing Ashabul Kahfi, jumlah mereka dan nama anak kecil yang dibunuh oleh Nabi Khidhir.

Penggolongan Israiliyyat kedalam tiga jenis ini sesuai dengan pendapat Ibnu Taimiyyah, Imam Baqa’i dan Ibnu Katsir tentang hukum periwayatan Israiliyyat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Ceritakanlah tentang bani Israil , tidak ada halangan dan barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya dari api neraka” [8]

E.       Contoh Riwayat Israiliyyat Dalam Kitab Tafsir

                Jika kita cermati, kitab-kitab Tafsir sedikit banyak terwarnai oleh Israiliyyat, meskipun berbeda kuantitasnya antara satu kitab dengan kitab yang lain. Seperti Israiliyyat yang terdapat dalam kitab Tafsir anwar Baidhawi, kitab Tafsir Jami’aul Bayan fi Tafsiri Al-qur’an karangan Imam Thobari, Kitab Tafsir Dar al-mantsur karangan Imam Syuyuthi, Kitab Tafsir Ma’alimu tanzil karangan Imam Baghawi, dan masih banyak kitab-kitab tafsir selain itu. Berikut adalah beberapa contoh riwayat Israiliyyat dalam kitab tafsir:
Ø  Riwayat Israiliyyat yang terdapat dalam kitab Tafsir Imam Thobari dengan sanad dari Wahab bin Munabah berkata, “Allah SWT menempatkan Adam dan Hawa di Surga, dan melarang keduanya memakan buah dari sebuah pohon yang cabangnya amat lebat. Dimana Malaikat memakan buah dari pohon tersebut untuk kekekalan dan keabadian. Manakala Iblis ingin mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga, maka Iblis masuk kedalam perut hewan melata-Ular- (pada waktu itu meiliki empat kaki seperti kaki onta Khurasan). Sesampainya di Surga Iblis keluar dari rongga mulut ular dan mengambil buah yang dilarang Allah kemudian memperdaya serta membujuk Adam dan Hawa untuk memakannya. Iblis berkata, “Lihatlah buah ini, betapa enak baunya, dan betapa lezat rasanya, dan betapa bagus warnanya. Kemudian Hawa terperdaya oleh bujukan Iblis dan memakan buah tersebut. Selanjutnya Hawa mendatangi Adam dan berkata kepadanya seperti perkataan Iblis hingga Adam memakan buah tersebut. Ketika itu juga terbukalah aurat mereka dan bersembunyilah Adam dibalik pohon. Lalu Allah memanggilnya, “Wahai Adam, dimanakah kamu?”. Adam menjawab, “Aku disini Tuhan!” Lalu Allah bertanya, “Mengapa kamu ditak keluar menampakkan diri?” Adam menjawab, “Aku malu kepadaMU Tuhan”. Kemudian Allah melaknat keduannya dengan penurunan dari Surga ke Bumi. Dan berkatalah Allah kepada Hawa, “Wahai Hawa, kamu adalah penyebab yang memperdaya Adam maka Aku akan melaknatmu dengan kesusah payahan ketika hamil dan melahirkan seperti keadaan orang yang menjemput ajalnya. Dan berkatalah Allah kepada Ular, “Kamu adalah penyebab masuknya Iblis kedalam Surga, maka Aku melaknatmu dengan melata diatas perut tanpa kaki”[9].

Ø  Riwayat Israiliyyat yang terdapat dalam kitab tafsir Jami’ul Bayan li Imam Thobari tentang penciptaan Hawa.  Bahwa Allah SWT menciptakan Hawa yang berasal dari salah satu tulang rusuk Adam seperti yang terdapat dalam Injil. Riwayat ini dinisbatkan kepada Ibnu abbas, yang menjelaskan bahwa Allah SWT mengambil salah satu tulang rusuk  di sebelah kiri yang merupakan salah satu tempat terlindung dari jasad Adam ketika ia sedang tidur. Hingga Allah SWT membalut tulang rusuk itu dengan daging dan menciptakan dari tulang rusuk tersebut Hawa sebagai pendamping dan teman hidup. Dalam kurun waktu satu tahun bangunlah Adam dari tidurnya dan didapatinya Hawa di sebelahnya dengan berkata, “Inilah tulang yang berasal dari tulangku, dan daging yang berasal dari dagingku”[10].

Ø  Riwayat Israiliyyat yang terdapat dalam kitab Tafsir Imam Ibnu Jarir At-Thobar        i tentang pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Zinab binti Jahsy. Diriwarayatkan melalui Qotadah dan Ibnu Zaid (Abdurrahman bin Zaid bin Aslam) bahwa Rasulullah SAW mendatangi rumah Zaid bin Haritsah ketika ia sedang tidak ada di rumahnya. Saat itu berhembuslah angin yang membuka tutup kamar Zainab dan Rasul memihat Zainab dalam kecantikannya. Maka muncullah rasa suka dalam diri Rasul terhadap Zainab. Bahkan diceritakan dalam riwayat lain,bahwa Rasul melihat Zainab dalam keadaan setengah telanjang dengan rambut terurai dan memakai baju tidur[11].

F. Sikap Para Ulama Muslim Terhadap Riwayat Israiliyyat

        Para ulama terutama ahli tafsir berbeda pendapat dalam menyikapi Israiliyyat. Diantaranya:
1.       Mereka yang banyak meriwayatkan kisah-kisah dengan menyebutkan sanad secara lengkap. Dan berpendapat bahwa dengan menyebutkan sanadnya maka telah gugur tanggung jawabnya. Seperti Ibnu Jarir At-Thobari.

2.       Mereka yang banyak meriwayatkan kisah-kisah Israiliyyat tanpa menyertakan sanadnya. Mereka diibaratkan seperti pencari kayu bakar di malam hari. Seperti tafsir Tsa’labi dan Tafsir Al-Baghawi.

3.       Mereka yang meriwayatkan Islailiyyat dengan menyebutkan sanad perawinya dan menjelaskan darajah riwayat tersebut dengan ta’qib dan kritik.  Seperti Tafsir Imam Ibnu Katsir.

4.       Kitab yang meriwayat Israiliyyat tanpa menyebutkan sanadnya. Karena pada umumnya ketika menyebutkan riwayat Israiliyyat hanya dimaksudkan sebagai penjelasan atas kebohongan dan kebatilan riwayat tersebut. Seperti Tafsir Imam Alusi

5.       Mereka yang berlebihan menolak riwayat Israiliyyat kedalam kitab tafsir dengan mengusung metode ekstrim bagi para ulama yang telah meriwayatkan Israiliyyat kedalam kitab Tafsirnya. Namun ironisnya, hal ini malah menyebabkan ia juga tergelincir kedalam Israiliyyat ketika menafsikan ayat Al-qur’an. Seperti Tafsir Manar karangan Muhammad Rasyid Ridho.

G.     Penutup

        Dalam kontradiksi periwayatan Israiliyyat, penulis sendiri sependapat dengan Imam Ibnu Timiyyah yang mengelompokkan hukum periwayatan kedalam tiga kelompok. Pertama, riwayat yang sesuai dengan syari’at maka hukumnya boleh. Kedua, riwayat yang bertentangan dengan syari’at maka hukumnya haram. Ketiga, riwayat yang masqud ‘anhu (tidak diketahui kebenaran dan kebohongannya) maka sebaiknya kita tidak mempercayainya dan tidak mengingkarinya. Tetapi riwayat jenis ini boleh periwayatannya selama tidak bertentangan dengan syari’at dan akal islami. Mengutip sabda Rasulullah SAW, “Janganlah kamu membenarkan (mempercayai) ahli kitab dan jangan mendustakan mereka dan katakanlah, “kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami...” (H.R Bukhari). Demikianlah pemaparan singkat tentang telaah riwayat Yahudi-Masehi dalam kitab Tafsir. Makalah sederhana ini tentunya masih membutuhkan kritikan, tanggapan serta masukan yang lebih luas cakupannya. Wallahu a’lam bi Assawwab.

H.     Referensi

1.       IbnuTaimiyyah, Majmu’u al fatawa, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Kairo.
2.       Dr. Amal Muhammad Abdurrahman Rabi’, Israiliyyat fi Tafsir At-Thobari Dirasah fi Lughah wa Mashadir ‘Ibriyyah, Majlis A’la li Syu’uni Al-Islamiyyah, Kairo.
3.       Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Israiliyyat wa Al-Mudhu’at fi Kutubi Tafsir , Maktabah Sunnah, Kairo.
4.       Dr. Mushtafa Abu Hindi, Ta’tsir al-Masehi fi Tafsiri Al-Qur’an, Daru Tholi’ah, Bairut.
5.       Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Al-Israiliyyat fi Tafsir wa Al-Hadist, Maktabah Wahbah, Kairo.
6.       Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Gema Insani, Jakarta.





[1] Makalah ini dipersentasikan dalam kajian regular dwi mingguan Salsabila Study Club tanggal 4 Maret 2010
[2] Mahasiswi Universitas Al-Azhar Fakultas Ushuluddin, Tafsir tingkat 4
[3] Wajah Peradaban Barat, Adian Husaini hal. 30
[4] (Q.S. Al-Hijr:9)
[5] Lihat Tarikh Yahudi fi biladil arab karangan Muhammad Azzah Darwis hal. 315
[6] (Q.S. Yunus:94)
[7] (Q.S Al-Baqarah 67-73)
[8] (H.R. Bukhari)
[9] Al-Israiliyyat wa Al-maudhu’at fi Kutubi Tafsir, Dr. Abu Syahbah bab “Ma warada fi Qishoh Adam As” hal. 174
[10] Al-Israiliyyat fi Tafsir At-Thobari, Dr. Amal Muhammad Abdurrahman, Majlis A’laa hal. 106
[11] Al-Israiliyyat wal Maudhu’at fi Kutubi Tafsir, Dr. Abu Syahbah bab “Ma warada fi Qishoh sayyidah Zainab binti Jahsy” hal. 313

Tidak ada komentar:

Posting Komentar