Minggu, 15 Mei 2011

Sosok Imam Muhammad Abduh


Antara Pembaharuan dan Rasionalitas

Oleh : Sofy Meylinda Sari[1]
Prolog

Di awal penulisan makalah ini saya teringat tentang ulasan singkat yang ditulis oleh Ernest Gellner, seorang anthropologist amerika dalam salah satu bukunya yang disana ia mengemukakan sebuah logika menarik tentang bagaimana Islam sebagai sebuah agama dan peradaban -dibanding dg lainnya- memiliki resistensi yang tinggi terhadap sekulerisme. Tak dapat dipungkiri bahwa pemikiran beraliran sekuler telah merayapi sejumlah pemikir-pemikir muslim kontemporer namun ini tidak serta merta mengindikasikan bahwa islam telah menjadi lemah. Sebuah teori yang menyatakan bahwa sekulerisasi telah berhasil menghancurkan islam terasa begitu klise dan naïf. Islam dimasa kini, menurutnya, masih sama kuatnya dg islam beratus-ratus tahun yang lalu. Ia lalu meninggalkan sebuah tanda tanya mengapa dan faktor apa yang ada dibaliknya?

Menjelang abad dua puluh kata “modern” seolah-olah menggemakan kekuatannya di separuh belahan dunia, membicarakan istilah ini takkan luput dari bayang-bayang gelap yang dibawanya, imperialisme dan kolonialisasi. Peradaban islam tak ayal juga terdera pengaruh kata ini. Abad 19 dan 20 merupakan masa dimana sebagian besar negara atau wilayah di dunia (khususnya negara-negara koloni) sedang berusaha menemukan identitas dan jati dirinya. Dimasa ini Negara kita tercinta Indonesia sedang berusaha melepaskan dirinya dari belenggu kolonialisme. Turki, negara pusat kekhalifahan Usmani ini juga tengah disekulerisasikan besar-besaran oleh Mustapha Kemal. Tak luput juga Mesir, sebagai wilayah Timur tengah, yang menjadi bekas wilayah kehalifahan Turki Usmani, bekas koloni Prancis dan Inggris ini juga tengah berusaha menemukan identitasnya dan berusaha untuk memposisikan diri dalam arus modernitas.

Negara- negara yang masih terbelakang secara mayoritas memiliki dilema yang sama dalam mengatasi problem yang dihadapinya. Mereka dihadapkan kepada pilihan dilematis antara mengikuti dan menjiplak budaya bangsa lain sehingga menjadi prototype negara maju, dengan demikian mengesampingkan budayanya sendiri atau mereka justru harus mengangkat aspek fundamental dari tradisi mereka dan menjadikannya sebagai pijakan untuk melangkah kedepan.

Pilihan yang dilematis memang, namun diantara dua hal ini menurut Gellner ada satu jalan keluar lain, Islam. Islam dalam pengertian dan identitas tertentu yaitu apa yang ia namakan sebagai high islam atau elit islam.[2] Mengapa demikian, karena elit islam mengupayakan gerakan dan ideologis untuk reaplikasi nilai-nilai mulia islam pada masa rosulullah dan masa salafiyah islam.[3] Sekiranya kita sudah mulai bisa menemukan titik temu dalam pembahasan kita kali ini, yaitu Imam Muhammad Abduh, Sang Ulama Pembaharu tersebut adalah salah satu yang bisa dikatagorikan –menurut istilah Gellner diatas- sebagai elit islam, yang mengangkat dan menggunakan islam –sebagai agama dan spirit- untuk menghadapi permasalahan- permasalahan warisan dari kolonialisasi dan modernitas sebagai bekal untuk sebuah perubahan dan revolusi.

SOSOK SANG IMAM PEMBAHARU

Kiranya ulasan diatas bisa menjadi pembuka dan pemanasan kita untuk mengupas lebih lanjut tentang sosok sang imam. Beliau bernama Muhammad Abduh Hasan Khoirullah lahir pada tahun 1849 M/ 1266 H di desa Mahallat Nasr di kawasan Buhaira, 15 Km dari kota Damanhur dan meninggal pada tahun 1905 di Alexandria pada usia 57 tahun. Ia dibesarkan di lingkuangn pedesaan, dalam keluarga petani. Diantara saudara-saudaranya hanya Imam Abduh seorang yang berkecimpung dalam pendidikan dan tidak bertani seperti orang tuanya. Kiranya sang Ayah melihat bahwa kecendungan anaknya ini adalah dalam belajar. Imam Abduh menempa pendidikan awalnya dan menghafal Al- Qur’an di desanya kemudian meneruskan ke yayasan Al-Ahmadi di Thanta.

Setelah beberapa lama Sang Imam merasa bahwa metode pengajaran yang diterima tidak sesuai dan merasa putus asa hingga berniat untuk menghentikan kegiatan belajarnya. Namun sang ayah melarang dan menyuruhnya untuk kembali ke yayasan tersebut untuk meneruskan sekolahnya. Pada saat inilah dia bertemu dengan Syeikh Darwisy Khidhir paman ayahnya yang merupakan seorang sufi, sufi ini mengajarkan kepada Imam Abduh sebagian dari hikmah tasawuf dan menuntunnya kepada jalan/ suluk seorang sufi. Dari sanalah Imam Abduh memperoleh kembali semangatnya untuk menuntut ilmu. Dan kembali ke Jami’ Ahmadi di Thanta. Kemudian dia mulai memikirkan untuk meneruskan psekolahnya ke Kairo agar dapat memperoleh pendidikan di Azhar.

Dalam perjalanan intelektualnya Imam Abduh berguru kepada Syeikh Darwisy khidir  dalam ilmu tasawuf, kepada Syeikh Muhammad al- Basyuni dalam adab/sastra, gurunya dalam filsafat adalah Syeikh Hasan Thowil sedangkah gurunya dalam hal dakwah dan pergerakan adalah Jamaluddin Al-Al-Afghany.[4]

Pergerakan dan Pembaharuan Sang Imam

Pergerakan dan perjuanagan yang diusung oleh Muhammad Abduh tak bisa lepas dari kondisi sosio-kultural dimasa itu. Pada akhir abad 19 Mesir memulai usahanya untuk membenahi aspek-aspek sosial dan pendidikan serta keterbelakangan yang mereka alami. Dari era tersebut kita dapat merekam beberapa nama seperti Rifa’ah Thahtawi Qosim amin, Ahmad Orabi, dan Muhammad Abduh adalah salah satu diantara mereka. Berbincang mengenai perjuangan Abduh dalam pergerakan politik dan sosial tak lepas dari sosok Jamaluddin Al-Afghany. Ulama ini bukanlah seorang mesir namun kiranya namanya seolah tak bisa lepas dari perjuangan negri kinanah di akhir abad 19 dalam menentang kolonialisme Inggris. Dia lahir di desa di wilayah Afganistan pada tahun 1839. Al-Afghany belajar ilmu agama di lingkungan Syiah dan dididik oleh ulama besar Syiah pada waktu itu, Allamah Murtadha al- Anshary.[5] Namun wawasannya yang luas dan cita-citanya yang tinggi untuk menyatukan bangsa bangsa arab-islam dalam satu kesatuan untuk menumpas kolonialisme barat (khususnya Inggris) pada waktu itu, membuatnya tidak terpaku pada perbedaan yang terjadi antara syiah dan sunni. Pemikiran yang non-fanatik sempit terhadap madzhab yang dianut ini nantinya juga merupakan ciri pemikiran Muhammad Abduh.

Pergerakan politik Imam Abduh lebih terfokus pada masa-masa awal pertemuannya dengan Jamaluddin Al-Afghany. Ketika Al-Afghany berkunjung ke Mesir untuk yang kedua kalinya Abduh berusaha untuk menghubunginya dan sejak itu rajin menghadiri majlis tokoh revolusi ini. Disebabkan oleh kedekatan antara mereka berdua dan telah nampak pengaruh Al-Afghany terhadap dirinya, Abduh hampir saja tidak diluluskan dalam ujiannya di Azhar. Langkah kongkrit awal yang dilakukannya waktu itu adalah dengan menumbuhkan semangat nasionalisme didalam diri murid-muridnya. Dan ketika aktivitas politik Abduh telah dinilai membahayakan dan mengkhawatirkan, pemerintah kemudian mencoba untuk membatasi ruang geraknya. Tahap awalnya adalah dengan memintanya meninggalkan Kairo membuatnya kembali dan menetap di desa kelahirannya. Ini bertujuan untuk membatasi pengaruh Al-Afghany dan juga menjauhkannya dari ibukota. Setelah beberapa lama kembali ke kampung halaman Imam Abduh kembali ke Kairo dan kembali memulai aktifitas pembaharuan dan politiknya.

Sampai pada akhirnya dia diasingkan ke Beirut selama 6 tahun. Ketika berada di pengasingan inilah, Afghany mencoba untuk menghubunginya dan memintanya untuk bertemu di Paris. Disana kemudian mereka berusaha untuk menggapai cita-cita mereka melawan dominasi kolonialisme ditanah arab untuk mendirikan wihdah islamiyah dan juga menerbitkan majalah ‘Urwah al-Wutsqo. Namun setelah dihentikannya majalah tersebut Abduh merasa sudah saatnya dia untuk meninimalisasi pergerakan politiknya dan memulai untuk gerakan pembaharuan dan pembenahan. Dia lalu kembali ke Beirut, dengan harapan agar bisa kembali ke Mesir. Disana sangat terlihat produktivitasnya sebagai seorang ilmuwan dan ulama. Ia banyak menulis buku, syarh dan hasyiyah untuk kitab-kitab turots. Dan disana juga Abduh mulai mengajarkan tafsir, bermula di halaqoh masjid. Tak hanya muslim saja yang turut mendengarkan penjelasan tafsir ini, hingga di depan masjid berjubel orang-orang  non- muslim turut memperdengarkan.[6]

Akhirnya pada tahun 1889 sang imam dapat kembali ke mesir , dengannya ia mulai bertekat untuk membenahi masalah dan distorsi sosial yang melanda negaranya. Demi tujuannya ini, Abduh tidak lagi banyak memusatkan kegiatannya ke arah politik namun lebih ke arah sosial dan pendidikan. Ia lebih memilih perubahan jangka panjang dengan jalan menanamkan jiwa nasionalisme dan membangun mental generasi muda Mesir ketimbang menempuh revolusi politis jangka pendek ala Afghany. Karenanya ia mencoba untuk mengantisipasi adanya masalah dengan pemerintah, dan memilih jalan damai yang pada akhirnya menyebabkan renggangnya hubungan dengan sang guru (Al-Afghany). Dan akhirnya khediv ‘Abbas Hilmy meminta Abduh untuk membantunya membenahi lembaga sosial, pendidikan dan pengajaran yaitu, Azhar, Awqaf dan Mahkamah Syar’iyah.

Muhammad Abduh, Akal, dan Rasionalitas

Akal pikiran adalah hidayah yang diberikan Allah kepada manusia dan ia adalah hal yang paling utama dalam membedakan antara manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Akal juga merupakan syarat taklif, begitu penting posisi akal ini hingga filsuf modern rene descartes memulai kebangkitan filsafat eropa dengan ungkapan “cogito ergo sum” atau aku berpikir maka aku ada. Dalam sepanjang sejarah peradaban ilmu islam, persoalan akal juga hal yang tak pernah luput dari perdebatan, baik antar madzhab maupun antar ulama dalam disiplin ilmu yang berbeda. Sebutlah perdebatan yang terjadi antara para ahli hadits dengan mutakallimin, yang memanfaatkan akal secara luas dalam persoalan-persoalan ushuliyah. Ada pula perdebatan yang terjadi antara mutakallimin dengan para filsuf, dan bahkan diantara madzhab ilmu kalam.

Setelah sekian lama peradaban islam dimulai sejak abad 7 masehi hingga menancapkan kekuatannya dalam bidang keilmuan pada masa abbasiyah maupun dinasti umayyah di andalusia, perlahan-lahan cahaya keilmuan yang terang benderang itu mulai redup. Hingga pada akhirnya dihadapkan pada persoalad taqlid dan berkembangnya isu bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Abduh melihat keadaan seperti inilah yang terjadi di kalangan umat islam. Dimana pembelajaran dan karya banyak terpusat pada syarh dan hasyiyah dan yang lebih penting lagi adalah redupnya rasionalitas dan penggunaan akal dalam persoalan agama. Dengannya Imam Abduh berusaha untuk mengangkat kembali posisi akal dan rasionalitas, dan ini sangat kentara di karya-karyanya. Akal dalam pandangan Abduh juga merupakan salah satu dari 4 hidayah yang diberikan Allah kepada makhluknya, hidayah tersebut antara lain:

1.      Hidayah yang pertama adalah intuisi, insting atau fitrah, dan ini sudah dimiliki oleh manusia ketika masih bayi. Yang kedua adalah indera dan perasaan.

2.      Hidayah yang kedua bertugas untuk melengkapi kemampuan intuisi yang telah dimiliki sebelumnya. Kedua jenis hidayah ini dimiliki oleh makhluk hidup hewani, bahkan beberapa hewan memiliki insting yang lebih tajam dibanding apa yang dimiliki oleh manusia.

3.      Sedangkan yang ketiga adalah akal, dimana ia menjadi “hakim” bagi kebenaran yang diatangkap oleh intuisi dan indera. Karena tidak semua yang terasa, terlihat, terdengar dan terekam oleh panca indera sesuai dengan apa yang ada, disinilah akal berperan untuk mengolah apa yang dihasilkan oleh hidayah sebelumnya. Para filsuf terdahulu (yunani khususnya) tidak meyakini bahwa apa yang tertangkap oleh indera dan insting adalah suatu kebenaran. Kebenaran atau hakikat adalah kebenaran menurut akal, karena indera dan perasaan seringkali menipu dan salah. Kebenaran intuisi dan indrawi menurut menurut mereka nisbi dan relatif dengan kata lain, tidak mutlak dan kebenaran hakiki adalah kebenaran menurut akal.

4.      Hidayah yang ke empat yaitu agama. Meskipun akal manusia mampu untuk berfikir dan merenungkan kejadian dan peristiwa yang dialaminya, namun terkadang ada hal-hal dimana akal tidak memiliki otoritas mutlak atau bahkan tidak mampu untuk menggapainya. maka hidayah agama diberikan Allah kepada manusia untuk menunjukkan kebenaran dan hal-hal diluar otoritas akal.

Ini adalah empat hidayah yang dijelaskan oleh Abduh dalam menafsirkan ayat keenam dari surat Al-Fatihah.[7] Namun untuk memahami dan menjalankan apa yang diperintahkan oleh agama manusia menurut Abduh harus menggunakan hidayah akal yang telah diberikan kepadanya semaksimal mungkin. Karena menurutnya islam sesungguhnya adalah agama yang sangat mengutamakan akal bahkan diin al-aql. Ini bisa kita temukan pada pembukaan bukunya Risalah al-Tauhid ia memaparkan bahwa:
“Ilmu tauhid juga dinamakan ilmu kalam, dikarenakan bahwa salah satu persoalan penting yang dibahas dalam ilmu tauhid adalah perihal kalamullah (al-Qur’an) antara hadits dan qodim, maupun dikarenakan dasar dari ilmu ini adalah dalil aqly, dan ini terasakan pengaruhnya dalam diri setiap mutakallim dalam argumentasinya. Dan dari sedikit yang ditopang oleh dalil naqli, namun setelah menetapkan dasar argumennya dengan rasionalitas akal .”[8]

Di sedikit cuplikan tersebut nampak bahwa Abduh menmpatkan akal sebagai dasar utama ilmu tauhid, dan menjadikan dalil naqli diposisi setelah akal atau dengan kata lain Abduh menjadikan akal sebagai dasar dari teks atau naql. Dan dalam ilmu aqidah ada persoalan- persoalan yang yang menggunakan dalil aqli sebagai dasar utama yaitu dalam dalil tentang adanya Allah Ta’ala, kekuasannya untuk mengutus rosul. Hal- hal ini untuk meyakininya menurut Abduh, harus bersandar pada akal sebagai dalil utama. Dr. Ahmad ‘Irfat dalam bukunya tajdid al-khitob al-diiny memaparkan beberapa hal penting yang menjadi penopang utama rasionalitasnya yaitu pendapatnya yang meyakini bahwa berfikir dan menggunakan akal secara rasional adalah kewajiban pertama bagi seorang mukallaf karena menggunakan akal untuk menetapkan wujud Allah dan untuk beriman kepadanya adalah dasar utama agama islam. Dan oleh karenanya berfikir dan mempertimbangkan segala suatunya dengan pertimbangan akal wajib hukumnya bagi seorang muslim.

Persoalan kedua dalam rasionalitas Abduh yaitu pendapatnya yang mengutamakan akal diatas teks agama. Dia menyatakan bahwa jika terdapat pertentangan antara teks dan akal maka harus mengambil apa yang ditunjukkan oleh akal, dan posisi teks kemudian diantara dua pilihan:
1.      Menerima teks sesuai dengan makna literalnya sekaligus mengakui kelemahan untuk memahami teks tersebut dan menyerahkan segala suatunya kepada Allah.
2.      Atau dengan jalan menginterpretasikan teks tersebut (metode ta’wil) sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan hingga tercipta kesesuaian antara apa yg diutarakan oleh teks dengan apa yang dipahami oleh akal.

Dengan demikian maka apa yang dihasilkan oleh akal adalah dasar dan teks adalah cabangnya atau far’un, dan tidak sebaliknya. Dan Abduh bukanlah yang pertama berpendapat seperti ini karena metode ini adalah metode yang digunakan oleh mu’tazilah dan juga oleh filsuf besar islam Abu al-Walid ibn Rusyd. Salah satu contoh adalah tafsir yang diutarakan Abduh tentang persoalan ru’yatullah sejalan dengan pendapat mufassir mu’tazilah zamakhsyari. Warna rasionalitas Abduh yang lain yaitu prinsipnya yang menolak takfir secara membabi buta.[9] Dalam risalahnya yang berjudul al- Rodd ala Farh Anton, ia menegaskan bahwa: “jika ada suatu perkataan yang membawa kemungkinan kafir dalam 100 sisi, namun juga bisa diartikan iman meskipun hanya di satu sisi saja, maka ia tidak boleh dikafirkan.”[10] Hal ini juga tersirat dalam muqoddimahnya dalam risalah tauhid dimana ia sedikit mengulas tentang sejarah singkat perjalanan ilmu kalam dimana hingga terjadi takfir antar madhab. Kemudian dengan tegas Abduh memaparkan bahwa satu hal yang patut diyakini yaitu bahwa agama islam adalah agama tauhid (pemersatu) dalam aqidah dan bukanlah agama yang memicu diferensiasi perihal kaidah-kaidah. Dimana akal adalah alatnya yang utama dan teks adalah tiangnya yang paling kuat.[11]

Dari sedikit penjelasan diatas, kiranya kita bisa melihat bagaimana akal mempati posisi yang sangat urgen dalam pemikiran yang diusung oleh Imam Abduh. Ini menyebabkan beberapa kalangan menyebutnya sebagai neo-mu’tazilah karena banyaknya kesamaan antara pendapat Imam Abduh dengan pemikiran2 mu’tazilah juga dalam metode penafsiran ayat-ayat al-Quran yang lebih banyak merujuk kepada akal melampaui makna-makna literalis hasil dari pembebekan. Seperti halnya ketika ia menolak hadits yang menyatakan bahwa nabi terkena sihir lubaid ibn A’shom, ia berpendapat bahwa hadits tersebut adalah hadits ahad dan tidak layak penggunaannya dalam permasalah aqidah. Ini senada dengan penafsiran al-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-kasyaf yang menafikan adanya sihir atas rosulullah, namun meskipun demikian terdapat perbedaan diantara keduanya. Jika imam zamakhsyari melakukan hal tersebut untuk menyesuaikan dengan pemikiran mu’tazilah dan memperkuat tersebut namun Imam Abduh men-ta’wil-kan ayat tersebut agar terjadi kesesuaian dengan pemahaman akal, bahkan ia menolak mempergunakan ayat al-qur’an dan menginterpretasikannya demi kepentingan memperkuat madzhab tertentu.[12]

Epilog

Dari sedikit ulasan pendek mengenai tokoh muslim pembaharu Muhammad Abduh kita bisa sedikit mengetahui sedikit tentang pergerakan dan pembaharuan serta pola pikir tokoh ini secara umum. Ia tak hanya  berjuang sebagai seorang muslim, tapi juga sebagai nasionalis yang ingin membenahi bangsanya untuk lebih maju dan lebih beradab. Setelah memilih perjuangan jangka panjang dibanding perjuangan bernada revolusi jamaluddin al-afghani, kini hasil dari apa yang diperjuangkan oleh sang imam dapat terlihat. Ini juga mewarnai pemikiran murid-muridnya yang juga meneruskan perjuangan sang guru. Diantara murid-muridnya tersebutlah Rasyid Ridha, Hassan al- Banna, Sa’ad Zaghlul, Qosim Amin, Mustafa abdul Rozak. wallahu a’lam.    


[1] Mahasiswi azhar fak. Ushuluddin tingkat 4 jurusan aqidah filsafat.

[2] Ernest gellner, Postmodernism, Reason and religion, (London, Routledge, 1992), hal 5

[3] Salafiyah disini bukanlah seperti apa yang banyak dipahami oleh sebagian muslim yang hanya mengacu kepada Ahmad bin Hambal, Ibnu Taimiyah, dan atau golongan yang menyebut dirinya salafiyah. Tapi salafiyah disini adalah periode masa awal islam yang merupakan standart ideal umat islam. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bouti dalam bukunya Salafiyah: Marhalah ZamaniyahMubarokah La Madzhab Islamiy.

[4]  Dr. Abdullah Mahmud Syahatah, Al- Imam Muhammad Abduh baina Al-Manhaj Al-Diniy wa Al-Manhaj Al-Ijtima’iy, (Kairo, al-Hai’ah Al- Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 2000), hal 31


[5] Majid fakhri, Tarikh Al-Falsafah Al- Islamiyah, ( Beirut, Dar el-Masyriq, 2000), hal 512

[6] Dr. Muhammad Imaroh, al-Manhaj al-Ishlahy li al-Imam Muhammad Abduh, (Cairo, Dar el- Salam, 2009), hal 26

[7] Dr. Muhammad Imaroh, al-A’mal al-Kamilah li al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, (Kairo, Dar el-Shourouk, 2009), jilid 1, hal 37-39

[8] Dr. Muhammad Imaroh, al-A’mal al-Kamilah li al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, (Kairo, Dar el-Shourouk, 2009), jilid 3, hal 381

[9] Dr. Ahmad ‘Irfat al- Qodhi, Tajdid al- Khitob al- Diniy, ((Kairo, al-Hai’ah Al- Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 2008), hal 191-197

[10] Dr. Muhammad Imaroh, al-A’mal al-Kamilah li al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, op. cit. hal 302

[11] Ibid. hal 381

[12]Dr. Abdullah Mahmud Syahatah, Al- Imam Muhammad Abduh baina Al-Manhaj Al-Diniy wa Al-Manhaj Al-Ijtima’iy, op. cit. Hal 79

Daftar Pustaka

1.      Ernest gellner, Postmodernism, Reason and religion, (London, Routledge, 1992)
2.      Dr. Abdullah Mahmud Syahatah, Al- Imam Muhammad Abduh baina Al-Manhaj Al-Diniy wa Al-Manhaj Al-Ijtima’iy, (Kairo, al-Hai’ah Al- Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 2000)
3.      Majid fakhri, Tarikh Al-Falsafah Al- Islamiyah, ( Beirut, Dar el-Masyriq, 2000)
4.      Dr. Muhammad Imaroh, al-Manhaj al-Ishlahy li al-Imam Muhammad Abduh, (Cairo, Dar el- Salam, 2009)
5.      Dr. Muhammad Imaroh, al-A’mal al-Kamilah li al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, (Kairo, Dar el-Shourouk, 2009), jilid 1
6.      Dr. Muhammad Imaroh, al-A’mal al-Kamilah li al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, (Kairo, Dar el-Shourouk, 2009), jilid 3
7.      Dr. Ahmad ‘Irfat al- Qodhi, Tajdid al- Khitob al- Diniy, ((Kairo, al-Hai’ah Al- Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar